Illustrasi Pekerja dan Petani Tembakau. (Foto istimewa)
Jakarta, Jurnas.com - Munculnya wacana penyamaan regulasi yang memasukkan tembakau dalam kategori yang serupa dengan zat adiktif lain seperti narkotika pada Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Kesehatan menimbulkan kecaman banyak pihak.
Bagaimana tidak, tembakau bukan hanya menjadi salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi, akan tetapi juga memiliki nilai historis yang lebih tua dari usia negara ini sendiri.
Angka kontribusi penerimaan negara dari cukai IHT terbilang besar, yakni hampir menyentuh Rp. 200 triliun pada 2022. Kontribusi tersebut tentunya juga memberikan efek berganda pada kehidupan petani tembakau di Indonesia.
Di beberapa daerah, tembakau adalah komoditas unggul dan telah menjadi mata pencaharian petani di kawasan tersebut secara turun temurun. Salah satu petani tembakau di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Sahminuddin, mengatakan bahwa menanam tembakau sudah menjadi budaya yang umumnya diturunkan dari orang tua mereka. Sehingga, mengganti kebiasaan tersebut dengan menanam tanaman lain akan sangat sulit.
“Lahan kami cuma cocok untuk tanaman tembakau. Selama ini di daerah (petani tembakau), tembakau merupakan komoditas yang nilai ekonomisnya paling tinggi dibandingkan dengan komoditas pertanian atau komoditas perkebunan. Keahlian, modal, dan lain-lain sudah terbentuk sedemikian rupa di diri petani tembakau. Lalu kalau masalah ini mau diganti tidak bisa serta merta. Kalau mereka diminta dialihkan ke komoditas lain, apakah ada jaminan pasar?” kata Sahminuddin, Jumat (2/6).
B50, Bukti Komitmen Pemerintah Sediakan Energi dan Naikkan Nilai Tambah Komoditas Pertanian
Pernyataan tersebut diperkuat oleh peneliti kebijakan publik dari IPB University Dr. Sofyan Syaf dalam kesempatan terpisah. Sektor tembakau telah menjadi andalan bagi banyak petani dan masyarakat lokal, sehingga dampaknya akan sangat signifikan apabila sektor tersebut dilemahkan.
“Ada sekitar 2,7 juta jiwa yang bergantung kepada sektor tembakau ini. Kemudian, kalau kita lihat perputaran uang per tahunnya itu sampai Rp9,2 triliun di tingkat petani. Bayangkan kalau kemudian diksi pasal zat adiktif itu hadir, maka habis petani yang kemudian bergantung pada tembakau. Rp9,2 triliun perputaran uang per tahunnya, itu sangat tinggi sekali, yang dari mana negara harus menggantinya?” ujar Dr. Sofyan.
Lebih Untung Secara Ekonomis
Sebagaimana diungkapkan Sahminuddin, tanaman tembakau punya daya saing yang lebih tinggi secara ekonomis dibandingkan dengan komoditas pertanian atau perkebunan lain.
Selain itu, tembakau menjadi komoditas unggulan para petani di daerah yang kering atau ketika musim kemarau tiba, di saat tanaman pangan tidak mampu bertahan hidup. Fakta ini menjadi sanggahan terhadap gagasan pengalihan lahan perkebunan tembakau menjadi lahan pertanian pangan.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah mengungkapkan bahwa pengalihan petani tembakau untuk menanam tanaman pangan tidak semudah yang dibayangkan. Sebab, selain permasalahan pada konversi lahan, terdapat masalah yang lebih krusial, yakni terkait insentif petani.
“Persoalan pangan bukan semata persoalan lahan. Utamanya justru ada pada sistem insentif di sektor pertanian. Saat ini, nilai tukar petani sangat rendah. Tidak ada insentif bagi petani. Semakin sedikit atau bahkan tidak ada orang yang mau menjadi petani. Sektor pertanian identik dengan kemiskinan,” ujar Piter.
Ia juga menggarisbawahi bahwa selagi pemerintah belum mengubah sistem insentif bagi petani, maka ekstensifikasi produksi pangan nasional akan sulit diwujudkan secara optimal.
“Selama sistem insentif di sektor pertanian tidak berubah, tidak ada dorongan untuk menjadi petani, sektor pertanian dan lahan pertanian akan ditinggalkan. Dengan demikian, output pertanian juga akan semakin turun. Mengubah lahan perkebunan tembakau menjadi lahan perkebunan pangan tidak akan berdampak untuk produksi pangan nasional kalau petaninya sendiri semakin berkurang,” tutupnya.
KEYWORD :
RUU Kesehatan zat adiktif tembakau petani pertanian pangan nasional